BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Sistem pemeliharaan kambing di
Indonesia sebagian besar masih dilakukan secara tradisional oleh petani ternak.
Ternak dilepas atau digembalakan di lapangan atau padang rumput lain pada siang
hari. Konsekuensi sistem pemeliharaan demikian adalah terjadinya beban panas
yang berlebih atau cekaman panas pada ternak, karena pengaruh langsung dari
radiasi matahari dan suhu lingkungan yang tinggi. Kondisi ini memaksa ternak
untuk mengaktifkan mekanisme termoregulasi, yaitu peningkatan suhu rektal, suhu
kulit, frekuensi pernafasan dan denyut jantung, serta menurunkan konsumsi pakan
(Purwanto et al., 1996).
Rendahnya persentase bobot karkas
pada suhu lingkungan rendah disebabkan oleh tingginya bobot alat pencernaan
(jeroan), berhubung tingginya konsumsi pakan di daerah suhu lingkungan rendah.
Terjadinya peningkatan konsumsi pakan, diikuti peningkatan bobot jeroan dan
isi. Kaitan antara suhu lingkungan dengan konsumsi pakan, dijelaskan melalui
pengaruhnya pada aktivitas metabolisme.
BAB II
URAIAN MATERI
Pengaruh Suhu Lingkungan Terhadap Fisiologis
Masalah utama dari ternak yang
dipelihara di daerah tropis basah, seperti di Indonesia, adalah tingginya
radiasi matahari secara langsung sepanjang tahun, khususnya bagi ternak
berproduksi tinggi, sehingga ternak dalam kondisi uncomfort karena beban panas
yang berlebih. Respons dari masalah ini adalah ternak terpaksa meningkatkan
aktivitas termoregulasi guna mengatasi beban panas yang dideritanya. Suhu dan
radiasi matahari pada kandang tanpa atap atau tanpa naungan (atap) lebih tinggi
daripada kandang dengan naungan (atap). Sebaliknya kelembaban dalam kandang
tanpa naungan (atap) lebih rendah daripada di dalam kandang dengan naungan
(atap).
Menurut Smith dan Mangkuwidjojo
(1988) bahwa daerah nyaman bagi kambing berkisar antara 18 dan 300C.
Peningkatan suhu terjadi sejalan dengan peningkatan besarnya radiasi matahari
yang diterima. Namun demikian, diduga bahwa beban panas yang lebih kecil
dialami oleh kambing yang dipelihara di bawah naungan (atap). Kondisi ini
terlihat dari kemampuan naungan (atap) untuk memperbaiki lingkungan mikro dalam
kandang naungan (atap), yaitu menurunkan suhu dan radiasi matahari.
Mekanisme fisiologis mengharuskan
alokasi energi untuk kinerja produksi maupun reproduksi dipakai untuk
mempertahankan keseimbangan panas tubuh. Dengan demikian, akan berdampak buruk
yaitu penurunan produktivitas ternak. Salah satu cara untuk mengatasi masalah
ini adalah dengan mengendalikan panas yang diterima dan peningkatan panas yang
terbuang oleh ternak, yaitu pemberian naungan atau atap dan pemilihan bahan
atap yang lebih efektif dalam menciptakan kondisi iklim mikro kandang yang
kondusif bagi ternak untuk berproduksi. Jenis atap kandang yang biasa digunakan
oleh para peternak, yaitu atap dari rumbia, seng, dan genteng. Dari bahan
tersebut kita dapat membandingkan bahan atap mana yang lebih efektif dalam
menciptakan kondisi iklim mikro kandang yang kondusif bagi ternak untuk
berproduksi
Hasil penilitian Qiston (2007) menunjukkan:
a. Jenis atap
tidak mempengaruhi suhu udara, kelembaban udara, dan radiasi matahari dalam
kandang
b. Kandang
beratap rumbia menyebabkan respons suhu rektal lebih rendah dibandingkan dengan
kambing yang ada di dalam kandang beratap genteng dan seng pada pengamatan
siang, malam, dan rataan harian. Kandang beratap genteng menyebabkan suhu
rektal ternak kambing lebih rendah dibandingkan ternak beratap seng pada
pengamatan siang dan rataan harian, namun pada pengamatan malam hari tidak
berbeda
c. Kandang
beratap rumbia menyebabkan respons frekuensi pernafasan lebih rendah
dibandingkan dengan ternak beratap seng baik pada pengamatan siang maupun
rataan harian, sedangkan dibandingkan dengan ternak beratap genteng tidak
berbeda. Pengamatan malam hari ketiga jenis atap menghasilkan frekuensi
pernafasan yang tidak berbeda;
d. Ketiga
jenis atap kandang tidak menyebabkan perbedaan respons frekuensi denyut jantung
baik pada pengamatan siang hari, malam hari, maupun rataan harian;
e. Ketiga
jenis atap kandang tidak menyebabkan perbedaan respons pertambahan bobot badan
harian pada ternak kambing percobaan.
Respons
Termoregulasi
Suhu rektal kambing PE pada kandang
tanpa naungan (atap) memberikan hasil yang lebih besar daripada kambing yang
dinaungi. Hasil ini mengindikasikan bahwa tingkat cekaman atau beban panas yang
dialami oleh kambing pada kandang tanpa naungan (atap) lebih besar jika
dibandingkan dengan kambing yang dinaungi. Hal ini disebabkan lebih tingginya
suhu dan radiasi matahari dalam kandang tanpa naungan (atap). Menurut Mc Dowell
(1972), suhu lingkungan yang tinggi mengakibatkan peningkatan suhu tubuh
ternak.
Meskipun nilai rataan suhu rektal
kambing PE pada kedua kondisi pemeliharaan di kandang dengan naungan (atap) dan
di kandang tanpa naungan (atap), suhu rektal keduanya masih berada dalam
kisaran normal suhu rectal kambing. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Smith dan
Mangkuwidjojo (1988), suhu rektal kambing pada kondisi normal adalah 38,5 -400C
dengan rataan 39,40C atau antara 38,5 dan 39,70C dengan
rataan 39,10C (Anderson, 1970). Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme
termoregulasi dapat berjalan dengan baik. Kambing yang dipelihara pada kandang
tanpa naungan (atap) memiliki frekuensi pernapasan dan denyut jantung yang
lebih tinggi daripada kambing di bawah naungan (atap). Kondisi ini dikarenakan
ternak pada kandang tanpa naungan (atap) mengalami cekaman atau beban panas
yang lebih besar, sehingga akan melakukan aktivitas mekanisme termoregulasi
melalui jalur evaporasi, baik melalui kulit maupun pernafasan, yang lebih besar
jika dibandingkan dengan ternak yang berada di bawah naungan (atap). Frandson
(1993) menyatakan bahwa ternak yang tidak dinaungi akan mengalami peningkatan
pada suhu rektal, suhu kulit, frekuensi pernapasan, dan frekuensi denyut
jantung, sebagai akibat adanya tambahan panas dari luar tubuh terutama yang
berasal dari radiasi panas matahari secara langsung.
Konsumsi
Ransum dan Pertambahan Bobot Tubuh
Tambahan bobot tubuh kambing yang
dipelihara dalam kandang dengan naungan (atap) lebih tinggi daripada kambing
yang dipelihara di kandang tanpa naungan (atap). Hal ini disebabkan karena
konsumsi ransum ternak di kandang dengan naungan (atap) adalah lebih besar jika
dibandingkan dengan kambing tanpa naungan (atap).
Konsumsi ransum pada kambing yang
dipelihara tanpa naungan (atap) lebih rendah daripada ternak yang dipelihara di
bawah naungan (atap). Hal ini disebabkan karena kambing tanpa naungan (atap)
mengalami cekaman atau beban panas yang lebih besar, sehingga terpaksa
menurunkan tingkat konsumsi pakannya sebagai upaya untuk mengurangi produksi
panas tubuh untuk mencegah cekaman atau beban panas yang semakin besar. Semakin
besarnya penurunan beban panas yang dialami oleh ternak di dalam kandang dengan
naungan (atap) menunjukkan bahwa energi yang dapat dimanfaatkan untuk
proses-proses metabolisme pada ternak di bawah naungan (atap) lebih besar jika
dibandingkan dengan energi yang terpaksa digunakan untuk proses termoregulasi
pada ternak tanpa naungan (atap). Dengan demikian pertambahan bobot tubuh
ternak di bawah naungan (atap) lebih besar.
Beberapa peneliti juga melaporkan
bahwa suhu lingkungan mempengaruhi konsumsi pakan. Krogh (2000) menyatakan
bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan adalah suhu
lingkungan. Suhu ruangan di bawah thermoneutral menyebabkan kosumsi pakan ternak
meningkat, sedangkan suhu ruangan di atas kisaran tersebut menyebabkan
penurunan konsumsi pakan. Penurunan konsumsi pakan, antara lain disebabkan oleh
meningkatnya konsumsi air minum yang digunakan untuk mempertahankan suhu tubuh
terhadap suhu lingkungan yang bertambah panas.
BAB III
PENUTUP
v Kesimpulan
·
Suhu dan radiasi matahari pada kandang tanpa atap atau tanpa
naungan (atap) lebih tinggi daripada kandang dengan naungan (atap). Sebaliknya
kelembaban dalam kandang tanpa naungan (atap) lebih rendah daripada di dalam
kandang dengan naungan (atap);
·
Jenis atap tidak mempengaruhi suhu udara, kelembaban udara,
dan radiasi matahari dalam kandang;
·
Kandang beratap rumbia menyebabkan respons suhu rektal lebih
rendah dibandingkan dengan kambing yang ada di dalam kandang beratap genteng
dan seng pada pengamatan siang, malam, dan rataan harian. Kandang beratap
genteng menyebabkan suhu rektal ternak kambing lebih rendah dibandingkan ternak
beratap seng pada pengamatan siang dan rataan harian, namun pada pengamatan
malam hari tidak berbeda;
·
Kandang beratap rumbia menyebabkan respons frekuensi
pernafasan lebih rendah dibandingkan dengan ternak beratap seng baik pada
pengamatan siang maupun rataan harian, sedangkan dibandingkan dengan ternak
beratap genteng tidak berbeda. Pengamatan malam hari ketiga jenis atap
menghasilkan frekuensi pernafasan yang tidak berbeda;
·
Ketiga jenis atap kandang tidak menyebabkan perbedaan
respons frekuensi denyut jantung balk pada pengamatan slang hail, malam hail,
maupun rataan harian;
ketiga jenis atap kandang tidak menyebabkan perbedaan respons pertambahan bobot badan harian pada ternak kambing percobaan;
ketiga jenis atap kandang tidak menyebabkan perbedaan respons pertambahan bobot badan harian pada ternak kambing percobaan;
·
Kambing yang dipelihara pada kandang tanpa naungan (atap)
memiliki frekuensi pernapasan dan denyut jantung yang lebih tinggi daripada
kambing di bawah naungan (atap);
·
Konsumsi ransum pada kambing yang dipelihara tanpa naungan
(atap) lebih rendah daripada ternak yang dipelihara di bawah naungan (atap);
·
Penggunaaan naungan (atap) menghasilkan kondisi iklim yang
lebih nyaman jika dibandingkan tanpa naungan (atap), yang ditunjukkan oleh
lebih rendahnya respons suhu rektal, frekuensi pernapasan, dan frekuensi denyut
jantung, serta pertambahan bobot tubuh kambing PE yang lebih tinggi.
v Saran
Sebaiknya para peternak menggunakan
kandang yang menggunakan atap untuk memelihara hewan ternak agar daging ataupun
susu yang didapatkan lebih optimal.
No comments:
Post a Comment